Home Features Petenis Juga Buruh

Petenis Juga Buruh

79
0
SHARE

Petenis juga buruh. Para petenis profesional mengayunkan raket demi meraup seperca upah berupa prize money. Dalam setahun kalender tur, selama sebelas bulan lebih, mereka memintasi turnamen. Berjuang dari pekan ke pekan, melintasi batas negara serta benua. Di atas empat jenis lapang berbeda, memforsir mental dan daya tahan tubuh.

Upah prize money itu berlandas “kemampuan” petenis. Besarannya dinilai berdasarkan jumlah kemenangannya beserta hierarki turnamennya. Ya, dalam sistem ini, petenis profesional tak ubahnya buruh harian. Bila bola tak dipukul, tiada bayaran. Satu saja servis terebut, buyar nilai bayaran.

Di kasta terendah, hadiah juara tunggal hanya sebesar $2,352 untuk tunggal putri (ITF W15) dan $2,160 untuk tunggal putra (ITF M15). Untuk meraihnya, seorang petenis setidaknya perlu memenangkan lima pertandingan dalam rentang lima sampai empat hari. Perjalanan panjang dan melelahkan. Lantas, bagaimana dengan yang kalah di babak awal? Barangkali hanya ketabahan tersisa.

Kondisi lebih miris lagi terjadi pada pemain ganda. Juara turnamen level terendahnya hanya mendapat $955 untuk ganda putri (ITF W15) dan $930 untuk ganda putra (ITF M15). Dalam jam kerja yang kurang lebih sama dengan petenis tunggal, upah yang sudah lah lebih rendah, mesti dibagi dua pula. Apa yang bisa disebarkan dengan adil selain kesedihan serta dukacita bersama?

“Hanya 200 sampai 400 petenis, putra-putri, tunggal dan ganda, yang dapat menghidupi dirinya dari tenis. Ini jumlah yang terlalu sedikit,” tutur Novak Djokovic, penggagas PTPA (serikat petenis profesional) dan tunggal putra nomor satu dunia dalam wawancara dengan Jeffrey Katzenberg.

Apakah para pemain payah dalam mengelola ekonominya? Wah, apanya yang dapat diatur kalau uangnya saja tiada.

Prize money yang tak seberapa itu mesti menanggung beban yang sebetapa ini; ongkos akomodasi termasuk penginapan serta transportasi, bea pendaftaran turnamen dan keanggotaan asosiasi pemain level nasional dan internasional, dan tentu saja kebutuhan hidup sehari-hari. Kantong tak bergemirincing, sedalam apapun merogoh, hanya tangis rintik.

Dengarlah Suara Petenis

Beatrice Gumulya, petenis putri Indonesia, menuturkan bahwa tak jarang dirinya merogoh kocek pribadi. Nasib baik, koceknya cukup dalam lantaran bonus dari perolehan medali di pekan olahraga nasional (PON) serta SEA Games.

“uang hadiah juara ganda bisa aja nutup biaya hotel dan makanan. Tapi tiket pesawat yang bervariasi engga sampai.” ujarnya dalam wawancara dengan tennisindonesia.com.

“Sponsor saya juga tidak menyediakan cash. Mereka membantu untuk kebutuhan bertanding seperti raket,” tambahnya.

Sementara itu, Sumit Nagal, tunggal putra terbaik India, bahkan hanya menyisakan kurang dari ₹ 8000 (setara dengan Rp 1.531.520) di akun banknya pada hari-hari pertama setahun lalu. Defisit dari ongkos yang ia perlukan untuk sekadar berlatih. Alhasil, di tiga bulan pertama tahun itu, ia tak berlatih di tempat favoritnya, Nansel Tennis Academy, Jerman.

Kembang kempis kantongnya meski dirinya telah “bekerja keras.” Bagaimana tidak, ia telah mengais pendapatan dari tiga sumber: prize money, gaji sebagai buruh perusahaan migas India (IOCL) dan donasi dari yayasan Maha Tenis India.

“Aku menyerahkan semua yang kumiliki demi karir tenisku. Kurang lebih kubutuhkan ₹ 10.000.000 (setara Rp 1.914.400.000) sebagai biaya mengikuti tur dengan seorang pelatih yang mendampingi. hanya pelatih, tanpa psioterapis,” ujarnya.

Nagal pun mengeluhkan minimnya apresiasi negara terhadap prestasinya. Anak seorang guru sekolah dasar ini pun hampir menyerah sebab kesulitan mendapatkan sponsor. “Aku merasa ditinggalkan saat rangkingku anjlok lantaran cedera. Tak ada seorangpun yang mau mengangkatku. Ini sangat mengecewakanku, rasanya, apapun yang kulakukan tak pernah cukup,” terangnya.

Federasi Tenis India pun menggarami luka. Mereka tidak memberikan wild card babak utama Australia Terbuka pada Nagal. Semua ini hanya karena Nagal tak bermain di Davis Cup. Kendati demikian, Nagal tetap mampu mengharumkan nama negarinya di ajang berjuluk “Happy Slam” awal tahun ini. Ia menyudahi dahaga sebelas tahun tenis India akan tunggal putra yang lolos ke babak kedua Grand Slam tersebut. Lebih istimewa lagi, Ia menjadi tunggal putra India pertama dalam kurun 35 tahun yang mengalahkan unggulan.

Keistimewaan prestasi petenis dan pengabaian induk organisasi tenis beserta negara, sayang sekali, terjadi pula di Indonesia.

Di Asian Games Hang Zhou, Aldila Sutjiadi, bersama Janice Tjen, mempersembahkan medali perak ganda putri pada negeri. Medali mereka pun menjadi satu-satunya podium yang mengibarkan sang saka merah putih di arena tenis. Untuk mencapainya, Aldilla membayar ongkos pesawat sendiri, dari Meksiko menuju Tiongkok. Lantaran, pemerintah, via Komite Oimpiade Indonesia (KOI) hanya menanggung beban atlet yang bertolak dari Jakarta. PP PELTI (Pengurus Pusat Persatuan Lawn Tennis Indonesia) pun berjanji untuk mengganti biaya tersebut.

Berapa bulan berselang, keringat Aldila sudah mengering. Janji pun tinggal janji. “belum ada gantinya sampai saat ini,” tutur Aldila pada tennisindonesia.com

Cerita ketiga petenis dari kawasan selatan di atas bisa menjadi gambaran ekosistem tenis dunia. Gemerlap industri ini mengorbankan para petenis yang berjuang dari dasar hierarki turnamen. Di turnamen level rendah, para petenis hidup dalam bayang-bayang.

Petenis Hanya Mitra, Sepanjang Ribuan Kilometer Dihisap Penyelenggara Turnamen

Ahmad Nassar, direktur PTPA, menunjukkan adanya hubungan yang timpang antara penyenggara turnamen (perusahaan) dengan petenis (buruhnya). “Mereka hanya dipandang sebagai mitra independen. Terlepas kondisi kerja yang menuntut, petenis bukan pegawai yang mendapat upah bulanan, jaminan kesehatan,” paparnya pada Vox.

Dengan relasi semacam itu, penyelenggara turnamen serupa penyedia aplikasi ojek online. Kesetaraan yang ilusif antar keduanya membebaskan penyelenggara turnamen dari tanggung jawab atas kebutuhan petenis untuk bekerja. Para petenis pun harus memutar otaknya demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

Selama ini, cara paling lazim ialah petenis berupaya untuk bermain di arena tertinggi, yakni Grand Slam–empat turnamen terakbar yang menyediakan jumlah hadiah terbesar.

Di panggung paling terang itu, petenis dapat menambal lubang yang ditinggalkan upah rendah dengan pemasukan dari sponsor. Tubuh petenis pun menjelma papan iklan berjalan. Baju, raket, jam tangan, sepatu. Bahkan, apa-apa yang tidak kasat mata, seperti suplemen dan vitamin, bisa mereka pamerkan. Sebab bagaimana pun juga, mereka purnama yang menarik lautan penggemar.

Namun, apakah pendapatan mereka dari tenis layak? Carlos Alcarazz, tunggal putra Spanyol, merupakan pemain yang meraih upah tertinggi dalam setahun pada 2022. Ia meraih jumlah yang terbilang fantastis, $10.000.000.

Akan tetapi, bila dibandingkan dengan atlet profesional di cabor lain, jumlah ini jauh lebih kecil. Sebagai contoh, pendapatan atlet nomor satu tenis setara dengan pebasket nomor 146 di Liga Basket Amerika (NBA).

“Kondisi ini diperparah dengan disharmonisnya tujuh induk organisasi tenis,” tambahnya.

Ketujuh organisasi tenis dunia tersebut adalah Federasi Tenis Internasional (ITF), Asosiasi Petenis Putra (ATP), Asosiasi Petenis Putri (WTA), dan empat turnamen Grand Slam yang berdiri sendiri yakni Australia Open, Rolland Garos, Wimbledon, dan US Open. Independensi setiap organisasi ini tak mampu menghasilkan keuntungan yang setimpal. Dari ratusan turnamen berbagai level, mereka hanya memeroleh $3.000.0000.0000. Dari sana, petenis pun hanya kebagian 18%.

Naasnya, di tengah seretnya perputaran uang ini, penyelenggara turnamen berpikir dengan konsep trickle-down economy atau ekonomi luber-luber. Gambaran kasarnya: pendapatan di level teratas akan tumpah ke level bawahnya. Jadi, saat uang di kasta teratas dangkal, maka setiap orang di kasta terbawah kekeringan.

Sebab itu, Novak Djokovic bersama beberapa petenis aktif menggagas serikat buruh bagi petenis profesional sejak 2021. Menargetkan para top 350 tunggal serta 150 ganda putra dan putri, mereka ingin memberikan wadah independen bagi para petenis untuk memperjuangkan haknya. Tujuan utama mereka adalah memperbanyak atlet tenis yang bisa hidup sejahtera dari olahraga elit ini. (PDN)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here